Materi

Previous
Next

Tokoh

Orang Tua

1 Pemain

Istri Orang Tua

1 Pemain

Tuan Kadi

1 Pemain

Orang Berkacamata

3 Pemain

Manusia

4 Pemain

Tuan Kadi :

Perenungan terhadap harapan akan kalah dengan berdiam. Manusia selalu terpuruk dalam kesia-siaan untuk menentukan hidupnya. Bahkan ia sendiri suka membuat sakit untuk kepentingan nafsu. Demi menyelamatkan keuntungan, sedangkan orang kecil akan menangis dan bertengkar dengan keluarga karena tidak bisa bersuara lantang terhadap penguasa. Kekuasaan adalah sebuah perangkap iman yang lemah. Setiap kali matahari muncul tidak mampu menahan cahayanya terhadap sungai ini. Apabila ia terbenam selalu saja membuat mata berbinar-binar memandang sekujur tubuh sungai, seolah-olah pasrah dan tidak bergairah. Tapi bibir mereka (Menunjuk ke arah Orang Berkacamata), merekah menyebut sungai dengan senyum di langit senja yang ranum. Ia tergila-gila untuk menghambur ke dalamnya. Ketika itulah mata air senja mengisak sampai tak mengeluarkan merahnya. (Suara tembakkan muncul dan Tuan Kadi keluar).

Orang Berkacamata pelan-pelan keluar seperti maling.

Kedua suami-istri terbangun dari tidur langsung berkata.

Istri Orang Tua :

Pemikiran itu selalu muncul (kepada suami) ia sudah diperbudak nafsu.

Orang Tua :

Kita memang tidak bisa mengatasinya. Itu hal yang tidak semudah membalikan telapak tangan.

Istri Orang Tua :

Mereka senantiasa memunculkan wajah sesuai keinginan. Setelah semua dapat dikuasai kemudian mengubah lagi wajahnya.

Orang Tua :

Itulah mereka, setelah dapat menggenggam.

Kedua suami istri keluar.

Masuk manusia-manusia dengan mengenakan kain sarung di pinggang, lalu menuju ke pelantaran tempat suami-istri.

Manusia 1 :

Biasanya mereka di sini.

Manusia 2 :

Ke mana mereka? Apa mereka sudah tidak mau melihat sungai ini.

Manusia 3 :

Mungkin sudah pulang karena tidak ada pendapatan dalam beberapa pekan ini.

Manusia 4 :

Bisa jadi begitu, apa yang harus kita buat untuk kehidupan orang-orang di sungai ini?

Manusia 2 :

Kita demonstrasi saja ke sana.

Manusia 1 :

Ke mana?

Manusia 2 :

Pokoknya ke sana! (Menunjuk ke penonton)

Manusia 3 :

Kalau kita bikin pengumuman di tepi sungai ini bagaimana?

Manusia 4 :

Tulisan apa?

Manusia 1 :

Iya tulisan apa?

Manusia 2 :

Tulisan bahwa dilarang membuang limbah di sungai ini atau pun sampah.

Manusia 3 :

Iya, tulisan seperti itu.

Manusia 4 :

(Tertawa). Memang mereka bisa diatasi dengan begitu. Takkan bisa, malah yang menjadi kekhawatiran adalah mereka sudah mulai masuk ke warga lalu membeli tanah mereka dengan harga yang sangat mahal.

Manusia 1 :

Iya, seperti itu, atau jangan-jangan kedua suami-istri itu sudah tidak berada di sungai ini. Sebab telah menjual tanah dan peralatan pencari ikannya.

Manusia 2 :

Bisa jadi seperti itu, sungai ini tidak ada yang mereka harapkan lagi.

Manusia 3 :

Oh ya, sungai ini mempunyai mitos serta fenomena gaib. Beberapa hari yang lalu, orang melihat di suak sana. Ada penampakkan gajah putih. (Meyakinkan Manusia 1,2, dan 4).

Manusia 1 :

Kedengarannya, iya. Sudah heboh satu kampung ini, tentang hal itu.

Manusia 2 :

Pertanda apa ya? (Berpikir).

Manusia 3 :

Beberapa bulan yang lalu sungai ini telah diukur oleh beberapa profesor. Jauh surut airnya, dulu 30 meter kedalamannya. Tapi sekarang hanya tinggal 18 meter.

Manusia 4 :

Ini benar-benar durhaka!

Manusia 1,2,3 :

Durhaka? (Serentak aktor 1,2, dan 3)

Manusia 4 :

Iya durhaka, durhaka dengan sejarah. Sungai merupakan sumber dari segalanya bahkan jantung kehidupan. Terkutuklah mereka!

Manusia 1 :

Lalu bagaimana mengatasinya? Nasi sudah menjadi bubur ini. Semua aktor mondar–mandir ke kanan dan ke kiri panggung memikirkan.

Masuk istri Orang Tua dengan melantunkan syair, berdiri di pelantaran.

Istri Orang Tua :

Kalaulah hidup bermacam perangai

umpama berpikir tidak terlerai

Itulah sebab tercemarnya sungai

meraka hanya mengintai-ngintai.

Para aktor manusia berhenti membuat komposisi, lalu mencari sumber suara itu.

Manusia 1 :

Itu suara orang tua itu.

Manusia 2 :

Ayo kita hampiri dia.

Manusia 3 :

Apa yang mau kita bicarakan?

Manusia 4 :

Ya, bicara tentang kerusakkan sungai.

Tiba-tiba istri Orang Tua hilang keluar panggung.

Manusia 1 :

Habis di mulut dan bicara saja, coba lihat! Mana ada lagi orang tua itu.

Manusia 2 :

Waduh, cepat hilangnya.

Manusia 3 :

Ya, begitulah, kita ini terlalu banyak bicara maka semua hajat tak terlaksanakan.

Manusia 4 :

Lebih baik kita susul ke rumahnya.

Manusia 1 :

Rumahnya di mana?

Manusia 4 :

Kita cari sampai dapat.

Manusia 1 :

Lewat sini. (Arah kanan panggung)

Manusia 2 :

Salah lewat sini. (Arah kiri panggung)

Manusia 3 :

Mana yang benar? Sana dan sini. (Menunjuk kiri dan kanan panggung)

Manusia 4 :

Sini sajalah (mengikuti arah pelantaran) kalau hal ini saja tidak satu arah, bagaimana dengan urusan yang laen nanti.

Aktor-aktor Manusia keluar.

Tuan Kadi :

Begitulah kita manusia, jikalau bicara diperbanyak umpama hidup untuk satu hari saja. Apalagi masalah lingkungan yang semakin hari semakin suram. Ini sungai, sebuah masalah besar buat kita, terutama saya yang memang diam di tepian sungai, besar oleh sungai. Sandiwara semacam ini perlu dilanjutkan terus untuk mengingat masalah lingkungan, masalah ikan-ikan mati, masalah udang-udang yang punah ranah, dan intinya masalah serakah! Serahkah! (Tiba-tiba hentakkan gong bergema) Itu sebuah gemuruh dalam dada! (Cemas). Aku Tuan Kadi! Penunggu tepian sungai. (Dengan lantang) Jangan sentuh tubuh-tubuh sungai, jangan perkosa kehidupan di dalamnya. Jangan! Aku lelaki petapa setiap peradaban dari sejarah yang datang hingga berganti menjadi hari ini. Akulah itu! Akulah sejarah sungai itu, akulah yang lebih tahu!

 Tiba-tiba terdengar suara gema Orang Berkacamata masuk ke dalam panggung dalam keadaan terikat, lampu temaram. Bercampur keributan orang-orang kampung sedang marah “Sungai ini milik kami, bukan untuk diperjual-beli.” Lalu memenuhi panggung. Tuan Kadi ketakutan dan hanya melihat sebuah kejadian itu.

Orang Berkacamata terduduk di tengah panggung seperti otang terikat, orang-orang kampung menutup kepala Orang Berkacamata dengan menggunakan ember. Lalu satu per satu memukul ember di kepala mereka sambil berkata “ Benak telah membinasakan badan, dan pikiran menghantui kekuasaan.” Satu per satu orang kampung keluar panggung.

Masuk Istri Orang Tua, sambil melantunkan syair dari kutipan Tunjuk Ajar Melayu Tennas Effendi. Dan membawa lukah besar lalu menutup ketiga Aktor Berkacamata, terlihat seperti terpenjara.

Istri Orang Tua :

Siapa suka membinasakan alam

akalnya busuk hatinya lebam.

Siapa suka merusak lingkungan

tanda hatinya sudah menyetan.

Siapa suka merusak laut dan sungai

itulah tanda buruk perangai.

Orang Tua mengikuti dari belakang istrinya sambil merenjis tepung tawar ke segala properti yang ada di panggung. Hingga yang terakhir kepada Orang Berkacamata.

Lampu perlahan-lahan redup. Bunyi nafiri bersahutan.

Daily Emotional Validation